Hai, Serapeeps! Buat kalian yang tertarik dengan dunia hukum, Universitas Serang Raya (UNSERA) punya fasilitas yang bakal bikin kuliah hukum semakin menarik dan nyata, yaitu Moot Court! Buat yang belum tahu, Moot Court adalah ruang simulasi persidangan yang didesain mirip dengan pengadilan sungguhan. Jadi, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum bisa merasakan pengalaman beracara di pengadilan tanpa harus keluar kampus. Keren, kan? Moot Court ini dilengkapi dengan semua perlengkapan yang dibutuhkan dalam sebuah persidangan, mulai dari meja hakim, meja jaksa, meja pembela, hingga ruang untuk saksi. Dengan adanya fasilitas ini, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum UNSERA bisa belajar dan berlatih keterampilan hukum dengan cara yang lebih praktis dan interaktif. Belajar di Prodi Ilmu Hukum UNSERA itu bukan cuma soal teori, lho! Dosen-dosen di sini juga selalu siap memberikan bimbingan dan wawasan praktis dari pengalaman mereka di dunia hukum. Ditambah lagi, dengan adanya Moot Court, mahasiswa bisa langsung mempraktikkan ilmu yang mereka pelajari di kelas. Jadi, enggak cuma paham teorinya, tapi juga mahir dalam praktiknya. Pengalaman simulasi persidangan ini pastinya bakal jadi momen tak terlupakan buat para mahasiswa. Mereka bisa belajar bagaimana cara menyusun argumen, melakukan interogasi, dan memahami dinamika persidangan dengan lebih mendalam. Semua ini tentunya sangat berguna untuk mempersiapkan diri sebelum terjun ke dunia profesional sebagai seorang ahli hukum. Buat kalian yang punya passion di bidang hukum dan ingin mendapatkan pengalaman belajar yang seru dan penuh tantangan, Prodi Ilmu Hukum UNSERA adalah pilihan yang tepat. Dengan fasilitas lengkap seperti Moot Court ini, kuliah hukum di UNSERA bakal bikin kalian makin siap dan percaya diri untuk meraih masa depan cemerlang di dunia hukum. Ayo, jangan lewatkan kesempatan untuk bergabung dan merasakan serunya belajar hukum di Universitas Serang Raya! (Z)
Read MoreHello Annyeong, serapeeps! Siapa disini yang suka nonton drama Korea, angkat tangannya deh coba! Bicara soal drama Korea seringkali menghadirkan genre yang menarik untuk ditonton. Mulai dari genre romance, thriller, action, dan lain-lain. Apalagi alur cerita yang dikemas lebih menarik serta tokoh protagonis dan antagonis yang membuat penonton menjadi geregetan tiap episodenya. Tapi siapa sangka kalau alur cerita seputar kehidupan kuliah justru menjadi salah satu pilihan bagi kamu yang penasaran terkait gambaran jurusan tertentu. Drama Korea “Law School” merupakan salah satu drama yang mengisahkan insiden yang terjadi di Universitas Hankuk. Insiden ini menyeret sejumlah mahasiswa dan profesor hukum. Drama Korea “Law School” mengangkat berbagai kasus kejahatan yang kerap terjadi, mulai dari kasus pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan seksual, sampai pada peretasan yang berujung pada kasus hoax. “Hukum adalah keadilan yang tidak sempurna. Namun, ketika kamu mengajar tentang hukum, hukum itu haruslah sempurna. Ketika kamu belajar tentang hukum, hukum harus identik dengan keadilan. Sebab hukum yang tidak adil adalah pelanggaran yang paling keji.” Ini adalah salah satu kutipan terkenal di drama ini. Selain itu, drama ini menunjukkan bahwa pekerjaan seorang jaksa dan pengacara ternyata memiliki banyak risiko. Pasalnya, jaksa bisa saja memberikan hukuman pada orang yang tidak bersalah. Di sisi lain, pengacara tersangka kejahatan bukanlah orang yang membela aksi kejahatan. Isi cerita dari “Law School” sebagian besar banyak menggunakan istilah hukum yang kurang akrab di telinga masyarakat awam. Dengan demikian, drama Korea ini sangat cocok untuk kamu yang berencana mengambil jurusan hukum. Menariknya lagi adalah tentang bagaimana para ahli hukum dalam drama tersebut menyelesaikan persoalan-persoalan berlandaskan pada praktik hukum yang sebenarnya, juga melihat dari perspektif undang-undang. Kalau kamu tertarik mengambil jurusan hukum, drama ini bisa menjadi referensi yang menarik. Siapa tahu setelah menonton “Law School,” kamu jadi semakin mantap untuk melanjutkan studi di bidang hukum di Universitas Serang Raya (UNSERA). Di UNSERA, kamu akan mendapatkan pendidikan hukum yang komprehensif, berlandaskan pada teori dan praktik, serta diajarkan oleh dosen-dosen yang berkompeten di bidangnya. Jadi, buat kamu yang ingin berkuliah di jurusan hukum, daftar disini karna UNSERA bisa menjadi pilihan yang tepat! (H)
Read MoreHola Serapeeps! Sudah nonton salah satu drama Korea keluaran Netflix berjudul Juvenile Justice? Ituloh Drama Korea yang menceritakan lika-liku peradilan anak di Korea dengan mengambil sudut pandang utama dari seorang hakim anak bernama Sim Eun Seok (diperankan oleh Kim Hye Soo). Mengangkat cerita tentang bagaimana hakim Sim yang terkenal tegas mengusut kriminal anak dalam menyelesaikan kasus kenakalan remaja di Korea Selatan ini memiliki sisi menarik tersendiri. Serial sebanyak 10 episode ini pun sempat menjadi trending di tahun 2022 lalu. Di episode pertama, kemunculan Baek Seong-u (13 tahun –diperankan oleh Lee Yeon) dalam keadaan berdarah-darah mendatangi kantor polisi dan mengaku baru saja membunuh seseorang. Kasus ini bergulir di persidangan, Hakim Sim mulai menunjukkan kecurigaannya dan menguak fakta bahwa sesungguhnya pembunuh Yun Ji-Hu (korban, 8 tahun –diperankan oleh Lee Joo-Won) bukanlah Baek Seong-u, melainkan orang lain. Di episode kedua, hasil daripada investigasi Hakim Sim akhirnya terkuak bahwa pelaku sebenarnya adalah Han Ye-Eun (16 tahun –diperankan oleh Hwang Hyun-Jung). Diketahui keduanya bertukar peran sebab paham bahwa Baek Seong-u usianya masih di bawah umur, sehingga secara hukum ia “diuntungkan” karena dilindungi oleh Sistem Peradilan Pidana Anak Korea yang membuatnya tak bisa dipenjara. Sedangkan Han Ye-Eun telah masuk usia dewasa sehingga ancaman hukumannya jauh lebih tinggi. Nah, itu Hukum Peradilan Anak di Korea, bagaimana dengan Indonesia? Berapakah usia maksimal seseorang masih dikategorikan sebagai anak, dan berapakah usia minimum seseorang bisa dikatakan dewasa menurut hukum Indonesia? Dalam kancah perundang-undangan Indonesia, ada setidaknya 13 undang-undang yang membahas perihal terminologi anak dari segi usia dan 9 di antaranya berpandangan bahwa anak adalah manusia yang berusia <18 tahun (termasuk anak yang masih dalam kandungan). Undang-undang tersebut adalah: Selain tersebut di atas, ada pula Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung yang turut menguatkan, menegaskan, dan/atau seolah menyatu suarakan ragam pandangan usia anak dalam perundang-undangan, yakni bahwasanya usia 18 ke bawah adalah usia yang disepakati di mana seseorang disebut sebagai “anak”. Lantas, ada pula peraturan perundang-undangan yang berpendapat lain selain daripada 18 tahun, yakni: Nah, itu dia ragam pendapat usia minimal dewasa menurut peraturan perundang-undangan kita, Serapeeps! Dari serial Juvenile Justice kita bisa mendapat gambaran terkait anak yang berhadapan dengan hukum serta kita dapat melihat bahwa setiap tindakan pasti ada konsekuensinya meskipun pelaku masih menyandang status anak di bawah umur. (Z)
Read MoreSerang, 18 Oktober 2023- Universitas Serang Raya (UNSERA) menyelenggarakan seminar nasional tentang kebijakan hukum pemilu. Kegiatan tersebut merupakan agenda dari Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik, dan Ilmu Hukum (FISIPKUM) dalam rangka mengkaji kebijakan hukum kePemiluan di Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat momentum menjelang pesta demokrasi dalam bingkai pemilihan umum yang diselenggarakan 5 tahunan. Selain itu, oleh ketua panitia seminar nasional Rachmi Yulianti, tema tentang “mengoptimalkan kebijakan hukum pemilu untuk tata kelola yang lebih baik” sebagai perwujudan materi-materi perkuliahan yang selaras dengan kerangka kepemiluan seperti mata kuliah kebijakan publik, komunikasi politik, dan hukum pemilu yang ada dalam kurikulum di lingkungan FISIPKUM Unsera. Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari kalangan praktisi dan akademisi, dimana dari kalangan praktisi menghadirkan langsung Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten dan Ketua Badan Pengawa Pemilihan Umum (BAWASLU) Provinsi Banten yaitu Aas Satibi Harsa dan Ali Faisal. Hal tersebut diharakap dapat memberikan pemahaman secara langsung pada peserta seminar, khususnya mahasiswa terkait praktik penyelenggaraan pemilu. Selain dari kalangan praktisi juga dihadirkan narasumber dari akademisi yaitu Dekan FISIPKUM Dr. Delly Maulana, M.PA dan Guru Besar Hukum Muhammadiyah Jakarta Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H. Dalam sambutan Dekan FISIPKUM yang disampaikan oleh Wakil Dekan Dr. Rahmi Mulyasih, bahwa pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat harus diselenggarakan dengan baik jangan sampai pesta rakyat ini justru menjadi pesta elit partai. Untuk itu, seminar ini mengajak seluruh peserta dan masyarakat untuk bersama-sama memahami tentang kebijakan hukum dan tata kelola pemilu yang baik. Wakil Rektor Unsera Dr. Denny Kurnia, M.M juga memberikan pandangan yang sama bahwa kegiatan seminar nasionak tentang pemilu ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, terlebih beberapa saat lagi kita akan disuguhkan proses pemilu di tahun 2024. Oleh karena itu, diharapkan dari seminar ini akan dapat memberikan kemanfaatan khususnya bagi mahasiswa FISIPKUM Unsera memahami secara cermat tentang kebijakan-kebijakan hukum pemilu, bahwa menurutnya hukum itu harus ditegakkan bukan sekedar diadakan. Dalam kesempatan ini Aas Satibi selaku Anggota KPU Provinsi Banten menjelaskan soal elemen-elemen pemilu yang meliputi regulasi, penyelenggara, peserta, dan pemilih. Sesuai dengan bidangnya yaitu bagian sosialisasi dan advokasi pemilih beliau menjelaskan pentingnya memahami proses dan praktik pemilihan umum. Terutama bagi kelompok-kelompok milenial atau Gen-Z yang baru akan menggunakan hak pilihnya, diharapkan kelompok-kelompok ini memahami soal-soal pemilu dan dapat menggunakan hak pilih. Berdasarkan data yang dihimpun oleh KPU bahwa Gen-Z dalam pemilu 2024 nanti lebih kurang sekitar 21% pemilih dan kelompok milenial mencapai 40% pemilih. Artinya kelompok-kelompk tersebut perlu mendapatkan edukasi baik melalui sosialisasi maupun edukasi melalui seminar-seminar di kampus. Menurut Aas Satibi, kini perguruan tinggi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan KPU yang sedang disesuaikan telah membolehkan adanya kampanye di lingkungan pendidikan dimana sebelumnya dilarang. Hal tersebut didasarkan pada data dan fakta bahwa hampir sebagian pemilih berada pada fase pendidikan tinggi. Pada akhir pemaparannya disampaikan bahwa KPU Provinsi Banten terbuka untuk mahasiswa-mahasiswa yang ingin melakukan penelitian tentang pemilu, khususnya mahasiswa semester akhir yang akan menyusun skripsi atau tugas akhir. Ketua Bawaslu Provinsi Banten, Ali Faisal menjelaskan soal hukum pemilu memang harus diperbaiki dari waktu ke waktu. Namun demikian, hukum merupakan suatu kepastian, khususnya hukum pemilu atau Undang-Undang pemilu sebagai dasar dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Setiap aturan mesti ada kekuarangan, sehingga perlu diperbaiki bahkan pada saat proses berlangsung bukan sebelum atau sesudahnya bagi penyelenggara seperti KPU harus berkejar-kejaran antara perubahan kebijakan hukumnya. Bawaslu lahir dari upaya untuk menyelesaikan masalah proses persoalan-persoalan pemilu, salah satu contoh terkahir adalah tentang partai ummat sebagai salah satu persoalan yang diselesaikan oleh Bawaslu. hal tersebut menunjukkan bahwa Bawaslu hadir untuk menegakkan hukum dalam sengketa proses pemilu. Ada tahapan-tahapan pemilu 2024 sampai 15 tahapan yang harus dikawal oleh Bawaslu sampai dengan selesainya proses pemilu 2024. Namun demikian, secara umum bahwa peran Bawaslu dalam penegakkan hukum pemilu meliputi pelanggaran pemilu, sengketa proses pemilu, dan tindak pidana pemilu yang bersama-sama dilaksakan dalam bingkai penegakkan hukum pemilu (GAKKUMDU). Pada akhir pemaparannya disampaikan agar Bawaslu dijadikan mitra oleh semua pihak, mahasiswa dan masyarakat untuk bersama-sama menjada pemilu yang bersih dan demokratis. Jika ada pelanggaran-pelanggaran pemilu, silahkan dilaporkan pada Bawaslu. Bawaslu juga mengundang dan mengajak mahasiswa yang ingin melakukan riset tentang peran dan tugas bawaslu disilahkan untuk berkolaborasi dengan bawaslu provinsi banten. Narasumber dari kalangan akademisi juga menyampaikan berbagai pemikirannya, terutama soal substansi hukum pemilu dan kebijakan perumusan hukum kepemiluan. Prof. Ibnu Sina Chandranegara mengkritik hukum pemilu di Indonesia dimana dalam pemaparannya menyampaikan bahwa hukum pemilu di indoensia itu “minim substansi, surplus formalitas”. Dijelaskan oleh beliau bahwa substansi hukum pemilu masih jauh dari esensi pemilu, bahwa pada praktinya kita masih berada pada tataran equal vote dan bukan equal voice. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kenyataannya pemilih hanya menikmati kedaulatan tidak sampai 5 menit di dalam bilik suara sedangkan suara setelahnya belum tentu dirasakan. Selanjutnya Dekan FISIPKUM menguraikan soal pentingnya edukasi politik bagi masyarakat, terutama pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Kemudian pentingnya sosialisasi dari penyelenggara negara dan stakeholder-stakeholder agar dapat menciptakan proses pemilu yang transparan dan akuntabel.
Read More