Belajar Hukum Peradilan Anak dari Drama Korea Juvenile Justice


UNSERA

Hola Serapeeps!

Sudah nonton salah satu drama Korea keluaran Netflix berjudul Juvenile Justice? Ituloh Drama Korea yang menceritakan lika-liku peradilan anak di Korea dengan mengambil sudut pandang utama dari seorang hakim anak bernama Sim Eun Seok (diperankan oleh Kim Hye Soo).

Mengangkat cerita tentang bagaimana hakim Sim yang terkenal tegas mengusut kriminal anak dalam menyelesaikan kasus kenakalan remaja di Korea Selatan ini memiliki sisi menarik tersendiri. Serial sebanyak 10 episode ini pun sempat menjadi trending di tahun 2022 lalu.

Di episode pertama, kemunculan Baek Seong-u (13 tahun –diperankan oleh Lee Yeon) dalam keadaan berdarah-darah mendatangi kantor polisi dan mengaku baru saja membunuh seseorang. Kasus ini bergulir di persidangan, Hakim Sim mulai menunjukkan kecurigaannya dan menguak fakta bahwa sesungguhnya pembunuh Yun Ji-Hu (korban, 8 tahun –diperankan oleh Lee Joo-Won) bukanlah Baek Seong-u, melainkan orang lain.

Di episode kedua, hasil daripada investigasi Hakim Sim akhirnya terkuak bahwa pelaku sebenarnya adalah Han Ye-Eun (16 tahun –diperankan oleh Hwang Hyun-Jung). Diketahui keduanya bertukar peran sebab paham bahwa Baek Seong-u usianya masih di bawah umur, sehingga secara hukum ia “diuntungkan” karena dilindungi oleh Sistem Peradilan Pidana Anak Korea yang membuatnya tak bisa dipenjara. Sedangkan Han Ye-Eun telah masuk usia dewasa sehingga ancaman hukumannya jauh lebih tinggi.

Nah, itu Hukum Peradilan Anak di Korea, bagaimana dengan Indonesia? Berapakah usia maksimal seseorang masih dikategorikan sebagai anak, dan berapakah usia minimum seseorang bisa dikatakan dewasa menurut hukum Indonesia?

Dalam kancah perundang-undangan Indonesia, ada setidaknya 13 undang-undang yang membahas perihal terminologi anak dari segi usia dan 9 di antaranya berpandangan bahwa anak adalah manusia yang berusia <18 tahun (termasuk anak yang masih dalam kandungan). Undang-undang tersebut adalah:

  1. Pasal 1 angka 5 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
  2. Pasal 26 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
  3. Pasal 4 UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
  4. Pasal 1 angka 8 UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
  5. Pasal 1 angka 5 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
  6. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
  7. Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
  8. Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi,
  9. Pasal 1 angka 3 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Selain tersebut di atas, ada pula Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung yang turut menguatkan, menegaskan, dan/atau seolah menyatu suarakan ragam pandangan usia anak dalam perundang-undangan, yakni bahwasanya usia 18 ke bawah adalah usia yang disepakati di mana seseorang disebut sebagai “anak”.

Lantas, ada pula peraturan perundang-undangan yang berpendapat lain selain daripada 18 tahun, yakni:

  1. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang disebut sebagai Anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin,
  2. Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam juga senada dengan KUHPerdata, yakni 21 tahun,
  3. Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht), Anak adalah mereka yang belum berusia 16 tahun, dan,
  4. Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, anak adalah Warga Negara Indonesia yang belum mencapai usia 17 tahun.

Nah, itu dia ragam pendapat usia minimal dewasa menurut peraturan perundang-undangan kita, Serapeeps!

Dari serial Juvenile Justice kita bisa mendapat gambaran terkait anak yang berhadapan dengan hukum serta kita dapat melihat bahwa setiap tindakan pasti ada konsekuensinya meskipun pelaku masih menyandang status anak di bawah umur. (Z)