“Yaelah anak komunikasi cuma belajar ngomong doang! dari kecil juga udah bisa ngomong kali!” Yup, barusan adalah contoh nyinyiran yang seringkali dilontarkan pada anak ilmu komunikasi. Sedih, ya? Seringkali dipandang sebelah mata. Tapi, ungkapan macam itu lahir karena ada stereotip bahwa ilmu komunikasi hanya untuk orang yang jago ngomong dan punya penampilan menarik (karena dianggap bakal kerja di TV ckck). Jadi, apa iya jurusan ilmu komunikasi cuma belajar ngomong doang? Realitanya, studi komunikasi itu studi yang “gado-gado” karena banyak beririsan dengan bidang-bidang lain, seperti Komunikasi-Ekonomi (menjadi komunikasi pemasaran); Komunikasi-Politik (menjadi komunikasi politik); Komunikasi-Psikologi (menjadi psikologi komunikasi); Komunikasi-Kedokteran (menjadi komunikasi kesehatan); dan masih banyak lagi~ Ilmu komunikasi juga sering banget dianggap jurusan yang sederhana karena lagi-lagi stereotip jurusan ini Cuma nunjukin jago ngomong aja. Padahal, anak ilkom banyak banget belajar teori komunikasi untuk bisa menyampaikan pesan dengan cara seefektif mungkin. Nggak cuma itu, di kelas ilmu komunikasi juga diajarin cara belajar nulis yang baik, penggunaan kata sambung, perencanaan iklan, sampe kampanye juga ikut dipelajari! Fyuh, jadi anak ilkom itu sama beratnya kok sama jurusan yang lain~ Jurusan ilmu komunikasi juga menuntut mahasiswanya untuk bisa menguasai banyak hal, karena nanti ketika berada di dunia kerja akan banyak sekali bersinggungan dengan disiplin ilmu yang lain. That’s why jurusan ilmu komunikasi selalu dicari di setiap lowongan pekerjaan jenis apapun, dan ini adalah salah satu hal yang bisa disombongkan dari jurusan ilmu komunikasi*ehe* (Z)
Read MoreDi hadapan ratusan wisudawan, undangan, senat, rektor, dan civitas akademik Universitas Serang Raya, Dr. Siska Mardiana, S.Sos, M.M. menyampaikan orasi ilmiah di Rachmatoellah Convention Hall, Selasa (24/10/2023). Dr. Siska mempresentasikan orasi ilmiahnya yang berjudul “Peran Teknologi Komunikasi dalam Pembelajaran di Era Digital Bagi Hambatan Penglihatan”. Berangkat dari realitas sosial di mana lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia, atau sekitar 15% dari populasi dunia di antaranya adalah penyandang disabilitas yang hidup dengan hambatan tertentu, termasuk masalah akses terhadap informasi pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja yang terbatas, Dr. Siska melakukan kajian ilmiah dengan mengobservasi kaum disabilitas, khususnya pada mereka yang mengalami hambatan penglihatan atau disebut sebagai tuna netra (total blind), serta mereka yang memiliki low vision (penglihatan terbatas). Hasil penelitian yang disampaikan dalam orasi tersebut menunjukkan bahwa teknologi komunikasi, seperti komputer, smartphone, dan jaringan internet, memainkan peran kunci dalam memungkinkan peserta didik dengan hambatan penglihatan untuk belajar dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan, teknologi komunikasi telah membantu para siswa dengan hambatan penglihatan menjadi lebih mandiri dalam belajar. Mereka dapat mengakses berbagai sumber belajar, membuat konten, dan bahkan mengembangkan bakat dan minat mereka melalui penggunaan teknologi. Dalam orasinya, Dr. Siska mengungkapkan bahwa literasi media digital menjadi hal yang sangat penting. Para peserta didik dengan hambatan penglihatan harus belajar untuk menggunakan teknologi dengan bijak, mengevaluasi kredibilitas informasi, dan menciptakan konten kreatif. Peneliti juga menggarisbawahi perlunya literasi digital untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan saat ini. Selain hal di atas, diperlukan kontribusi dan kolaborasi dari pemerintah, swasta, masyarakat, dan akademisi untuk terus mendukung peserta didik dengan hambatan penglihatan agar mereka dapat bersaing dan maju seperti individu lainnya di era digital saat ini. Teknologi komunikasi menjadi alat bantu dalam mengatasi hambatan penglihatan yang dapat menciptakan peluang pendidikan yang lebih inklusif. “Teknologi komunikasi mengatasi keterbatasan tanpa batas,” katanya mengakhiri orasi ilmiah tersebut.
Read More